ROKOK SEMBAKO SURABAYA
Cv.distributor sembako murah adalah perusahaan distributor sembako berbadan hukum yang berkedudukan di Jawa Timur, Surabaya Kota, berdiri sejak tahun 2009 Yang bergerak dalam bidang distributor dan supplier Sembako melayani penjualan sembako untuk keperluan bisnis catering persediaan toko sembako anda, kami dapat membantu untuk pelayanan distributor segala kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari.
Protes terhadap kebijakan pemerintah mengenai kenaikan cukai rokok kembali muncul. Kali ini Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKI) yang menilai kenaikan cukai rokok tahun depan terlalu rendah. Bahkan ia menyebut kenaikan cukai rokok yang diberlakukan mulai awal 2018 sebagai langkah mundur Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Seperti diketahui, pemerintah telah mengumumkan rencana kenaikan tarif
cukai rokok tahun depan sebesar 10,04 persen atau lebih rendah dibanding
tahun 2016 yang mencapai 11,19 persen.
“Jika dilihat persentasenya, seharusnya setiap kenaikan cukai bersifat
progresif, sehingga mencapai angka minimal yakni 57 persen, sebagaimana
amanat UU tentang Cukai,” ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi
dalam keterangan resmi, dikutip dari CNN, Jumat (27/10/2017).
Tulus menyebutkan, rendahnya persentase kenaikan cukai rokok
mencerminkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani masih sangat
konservatif dalam mengambil kebijakan terkait kenaikan cukai rokok.
“Kenapa konservatif? Karena seharusnya dengan kenaikan yang lebih tinggi
pemerintah dapat menggali pendapatan dari sektor cukai yang lebih
besar. Seharusnya Menkeu memahami hal ini mengingat defisitnya APBN,
akibat target pendapatan pajak yang selalu jeblok,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Tulus, kenaikan cukai yang tinggi juga bisa menjadi
instrumen pengendalian konsumsi rokok. Pasalnya cukai adalah merupakan
pajak dosa.
Sementara, saat ini menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan mayoritas penyakit yang diderita pasien BPJS Kesehatan
adalah penyakit degeneratif, yang salah satu pemicunya adalah konsumsi
rokok.
“Pantas saja tiap tahun fiansial BPJS mengalami bleeding. Pada 2016
defisitnya mencapai Rp9 triliun, dan pada 2017 diprediksi mencapai Rp 12
triliun,” paparnya.
Kemudian, rendahnya kenaikan cukai rokok oleh Kemenkeu akan
mengakibatkan prevalensi merokok semakin tinggi, karena harga rokok
masih sangat terjangkau baik oleh rumah tangga miskin dan atau anak-anak
dan remaja.
Pasalnya, ia menilai kenaikan cukai rokok 10,04 persen hanya berdampak terhadap kenaikan rokok sebesar Rp 30-50 per batang.
“Apalah artinya kenaikan sebesar itu? Karena toh rokok masih bisa dibeli
secara ketengan. Dalam konteks ini, Menkeu gagal memahami cukai sebagai
‘pajak dosa’, sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok,” ujarnya.
Melihat rendahnya kenaikan cukai rokok tersebut, Tulus menduga Sri
Mulyani terlalu dominan mendengarkan suara industri rokok. Artinya,
Menkeu tidak independen dan tidak netral atas intervensi oleh industri
rokok sehingga mengabaikan masukan dari masyarakat yang mendorong
pengendalian konsumsi rokok.
Himbauan Presiden Joko Widodo agar petani mengurangi bertanam tembakau
akibat dampak kenaikan cukai, juga hal yang tidak relevan.
“Kenaikan cukai 10,04 persen tidak berdampak apa pun terhadap petani
tembakau. Nasib petani tembakau justru digerus oleh perilaku industri
rokok yang seenaknya menentukan harga dan kualitas daun tembakau milik
petani,” pungkasnya.(CNN/ZAL)